Di Ujung Senja yang Kelam
Oleh:
Ria Dwi Anggarawati (XII IPS 4)
Aku masih tetap pada posisi semula,
duduk di bangku halte menunggu bus. Entah kenapa hari ini bus datang bengitu
lama, tak seperti biasanya. Aku telah lama duduk disini, mungkin bangku halte
yang kududuki sudah terasa panas. Juga uang seribu rupiah, yang kini mulai
basah oleh kringat karena terlalu lama kugenggam. Rasa jenuh dan bosan mulai
mengahampiri. Karena tak ada Huda. Dialah yang biasanya menemaniku menunggu bus.
namun semenjak pagi tak terlihat batang hidungnya. Kelas begitu sepi tanpa
kehadirannya. Dia selalu membuat ramai suasana. Suaranya ketika memaggil nama
ku masih terngiang-ngiang dikepalaku. “rum, ningrum”. Ya, ningrum adalah
panggilanku. Aku dan Huda memang baru kenal. Aku mengenalnya saat pertama masuk
SMA. Kareka aku sekelas dengannya, dan rumah kita searah, membuat aku dan Huda
saling mengenal. Sepulang sekolah kami selalu menghabiskan waktu di halte dekat
sekolah. Menunggu datangnya bus. Walaubus yang datang terkadang begitu lama,
juga Hujan dan teriknya mataharimembuat kita sebal. Namun pada akhirnya
kejadian-kejadian itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kita. Beberapa
hari yang lalu Huda menyatakaan perasaan cintanya padaku dan bertanya apakah
perasaanku sama dengan atau tidak. Namun aku tak menjawabnya, walaupun
sebenarnya aku juga mencintainya. Itu karena aku belum siap mengatakan padanya,
aku butuh waktu dan Huda pun mengerti akan hal itu. Tapi, suatu saat nanti aku
pasti akan mengatakan padanya. Pada waktu yang tepat.
Tak melihat batang hidungnya hari ini
membuatku rindu padanya. Padahal, tadi pagi dia mengirimi ku pesan, katanya dia
akan berangkat. Namun buktinya dia tak datang disekolah. Aku berniat pergi
kerumahnya, untuk memasktikan. Apakah dia sakit? Apakah dia sedang ada urusan
keluarga? Atau jangan-jangan dia membolos? Kemarin dia bercerita padaku,
katanya dia sudah bosan bersekolah. Dia ingin segera lulus. Namun karena hari
ini bus datang begitu lama, akhirnya aku memutuskan untuk mengurungkan niatku. Aku takut pulang kerumah
terlalu sore.
Aku memalingkan wajah, ternyata dari arah
barat telah tampak sebuah bus, aku segera bersiap dan menaiki bus itu. Hari ini
bus begitu ramai. Sampai-sampai aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Beberapa menit
kemudian bus telah sampai pada pemberhentian pertama. Huda juga biasa turun di
sini. Ternyata banyak sekali yang turun. Rata-rata dari mereka memakai baju
gelap dan membawa ember berisi beras.
“mbak, kenapa banyak sekali yang turun
disini dan membawa ember?” tanyaku penasaran pada salah seorang penumpang wanita disebelahku.
“oh itu, denger-denger sih tadi ada yang
meninggal gitu” jelasnya.
“pantes busnya penuh ya mbak,?”
“kalo
penuhnya itu gara-garabus yang dipakek buat ngelayat mogok, jadi penumpangnya
dialihin ke bus ini semua”
“oh, Makanyabusnya tadi lama banget.
Jadi mogok”
Sekitar
10 menit aku berada dalam bus, aku turun
pada pemberhentian kedua. Kuaarahkan
mataku metatap langit. Hari ini matahari begitu terik. Kurogoh ponsel di saku
bajuku. Pukul 03.00ternyata sudah sore, tapi matahari hari tetap saja masih
semangat memancarkan sinarnya. Aku mampir kewarung dekat aku turun dari bus
tadi sebentar. Duduk sembari mengistirahatkan tubuh dan mendinginkan
tenggorokanku. Karena setelah ini aku
harus berjalan lagi sekitar 1km menuju rumahku.
“sore bulek” begitu
sapaanku kepada si penjual di warung itu.
“eh Ningrum, mau pesan
apa?”
“kayak biasa aja bulek Es
blewah”
“gak pesan yang lain?
Hari ini ada es kelapa serut. Seger buat yang lagi haus” tawarnya padaku.
“enggak deh bulek, aku
pesan es blewah aja satu”
“ok deh kalo gitu bulek
buatin dulu, tunggu bentar ya?”
“eh, sama gorengannya
ya bulek, laper ni” tambahku.
“iya. Ngomong-ngomong
kok jam segeni baru pulang?”
“iya bulek, tadi busnya
lama, jadinya agak sedikit telat pulangnya.” Jawabku sambil melahab gorengan
buatan bulek.
“lah kenapa bus nya
lama?”
“katanya sih tadi ada
orang yang meninggal di gang dua, terus bus
yang di pakai ngelayat mogok. Jadi dialihin kebus berikutnya. Makanya lama.”
Jelasku “tahu isi gak ada bulek?” tanyaku.
“gak ada udah habus
diborong sama kuli bangunan yang di
rumahnya Bu.Desi”
“Bu.Desi jadi bangun
rumah disamping kuburan bulek?”
“iya jadi. Katanya dia
sih gak masalah, mau rumah deket kuburan”
“apa gak takut bulek?
Kan bu.desi janda? Tinggal dirumah sendirian lagi?”
“ya udahlah lah
terserah dia. Oh ya tadi kok ada yang nggali kuburan ya? Yang meninggal siapa?
Kok bulek gak tau?”
“em, mungkin tadi yang
meninggal di gang dua dikubur disini kali bulek”
“ya kali ya” tak terasa sudah setengah jam aku
berbincang-bincang dengan bulek Tutik. Aku segera pulang kerumah takut kalau
nanti aku pulang terlalu sore apalagi aku juga belum sholat ashar.
***
“Assalamu’alaikum...”
“Waalaikumsalam..
baru pulang rum?”
“iya
bu” jawabku sambil melepas sepatu.
“rum,
ibu mau bilang sesuatu sama kamu” ibu mulai mendekatiku.
“bilang
apa emang bu?” aku mulai menatapnya.
“em..”
‘oh
ya, Bapak sama mas Anggar kemana?” aku menengok keruang tengah. “bapak belum
pulang ya bu? Biasanya jam segini udah nonton berita bapak.” Lanjutku.
“em..
kamu mandi dulu aja ya, abis mandi sholat. Kamu belum sholat kan? Selesai solat
makan, ibu udah masak enak buat kamu.”
“iya
bu” hari ini tatapan mata ibu aneh, seakan-akan suatu kejadian yang buruk telah
terjadi. Namun aku tak mau berprasangka buruk terkebih dahulu. Mungkin itu
hanya persaanku saja.
Selesai
makan ibu menghampiri ku. Aku benar-benar penasaran, apa yang akan dikatakan
ibu? Kenapa bapak dan mas Anggar tak ada?
“Ningrum”
ibu memulai pembicaraan
“sebenarnya
ibu mau bilang apa sih ke ningrum? Ningrum jadi penasaran nih. Pliss, jangan
buat Ningrum mati penasaran dong buk” aku memegang bahu ibu.
“Ningrum,
dengarkan ibu baik-baik ya nak” ibu
terlihat mulai serius. Aku semakin penasan, apa yang ingin ibu ceritakan. Ibu
tak pernah terlihat seserius ini sebelumnya. “Huda nak”
“Huda?
Ada apa sama Huda bu? Kenapa tiba-tiba ngomongin Huda? Tadi Huda gak masuk
sekolah soalnya”
“Huda
meninggal dunia” mataku terbelalak mendengar perkataan ibu barusan.
“ibu
ini bicara apa sih? Jangan bercanda ah?” aku mencoba memastikan perkataan ibu
barusan.
“ibu
gak lagi bercanda, Bapakmu sama Mas Anggar lagi ngurusin pemakamannya” sejenak
aku terdiam tanganku yang semula memegang bahu ibu kini mulai melemas. “tadi
siang sekitar pukul dua, dia dipanggil yang kuasa” jelas ibu.
“kenapa
bu? Kenapa itu bisa terjadi sama Huda?”
“Tadi
pagi waktu dia berangkat kesekolah dia disrempet motor, dan dari arah yang
berlawanan ada mobil yang melaju dengan kencang. Dan saat itu juga ialangsung dilarikan
kerumah sakit. Tapi setelah beberapa jam dirumah sakit, tepatnya pukul dua
siang. Dia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluarkan darah” aku terdiam
mendengar penjelasan ibu, aku sungguh tak percaya dengan perkataan ibu barusan.
“Ningrum?”
“tapi
tadi Huda sempet ngirim sms ke aku bu? Tadi dia bilang bakal berangkat” perlahan
butir-butir air mataku mulai jatuh membasahi pipiku.
“mungkin
ini sudah jalannya nak, kamu yang sabar aja” ibu mencoba menghiburku. Tapi itu
tak membuat hatiku tenang. Aku semakin terisak mendengar perkataan ibu. Namun
ibu mencoba menegarkanku. Akhirnya dengan perasaan campur aduk akupun pergi
kerumah duka dengan ditemani ibu. Meski sudah senja dan sebentar lagi magrib.
Keluarga Huda tetap menguburkan Huda hari ini juga. Mungkin, senja ini akan
menjadi senja yang kelam dalam hidupku. Ditinggalkan oleh sahabat yang sangat aku sayangi. Sebenarnya aku tak ingin pergi ke
pemakaman Huda. Karena aku takut jikalau nantinya aku tak sanggup melihat jasad
Huda dimasukkan keliang lahad. Namun, bagaimanapun Huda adalah teman ku. Teman
terbaikku. Aku ingin mengantarkannya keperistirahatan terakhir.
Air
mataku tak sanggup lagi kubendung ketika melihat jasad Huda dimasukkan ke liang
lahat dan kemudian di timbun oleh tanah merah yang kemudian ditaburi
bunga-bunga. Pipi tirusku kini mulai basah oleh air mata kesedihan. Tak
berselang lama, tiba-tiba mataku menjadi gelap. Dan akupun hilang kesadaran.
***
0 komentar:
Post a Comment