Home - About - Sitemap - Contact - Link
::: Zona Ekspresi adalah Majalah sekolah, yang ada di SMA Negeri 1 Padangan :::

Friday, February 13, 2015

CERPEN REFLEKS edisi 7

7:48 PM


REFLEKS
            Maaf aku refleks.”
Masih tak bisa aku bayangkan perkataan sahabatku, Fulda. Tepat di hari ulang tahunnya dia berbicara hal yang paling membuat hatiku seperti terhantam benda tumpul dan di pipiku terbentuk sungai kecil yang mengalilr. Ya, aku menangis. Siapa orangnya yang tidak menangis jika sahabatnya sendiri memutuskan hal yang bodoh.
---
            Rayhand. Lebih tepatnya Miqdad Rayhand Kelana . Itu namaku. Nama pemberian sahabatku Fulda. Mungkin banyak yang mereka-reka, lantas di mana orang tuaku? Aku terlahir dalam keluarga dengan kepercayaan. Tepatnya  dan beragama Non Islam. Orang tuaku kini tinggal di.....entahlah aku tak tahu. Mereka marah padaku dan meninggalkanku, tepat aku duduk di bangku SMA.
            Hari pertamaku di SMA.
Sepasang mataku tertuju pada seorang gadis. Cantik. Tapi,....mengapa dia menutupi keindahan mahkotanya, lekukan indah tubuhnya, kaki jenjangnya?. Penasaran, pastinya. Tak ku sangka seorang gadis berkaca mata memperhatikanku sejak tadi. Senyumannya terukir jelas di mataku.
            “Aauawaium”,sapanya padaku diiringi gerakan tangan memperjelas perkataannya. Nampaknya dia gaguk.
            “Ya.”,sapaku balik, singkat.
Ia mengambil buku kecil dalam sakunya. Entahlah aku tak tahu maksudnya. Tapi sepertinya ia berniat baik padaku. Sreek.....Suara kertas disobeknya. Diberikannya sobekan kertas itu padaku.
            “Perkenalkan namaku Pulip. Yang di sana itu sahabatku, Fulda.”, Kubaca sesobek kertas darinya, Pulip. Aku hanya mengangguk dan kedua ujung bibirku tertarik ke atas menyunggingkan senyuman khasku. Sesekali aku pun memandang seseorang di sana yang mencuri perhatianku tadi. Yang kini aku telah tahu siapa namanya, Fulda. Kalau tak salah Fulda merupakan salah satu kota di Jerman.
            Renunganku terpecah di kala Pulip menyentuh pundakku dan menyerahkan sesobek kertas lagi padaku.
            “Maaf jika aku lancang. Siapa namamu?.Lalu apa kamu mengenal Fulda?.”,aku pun menoleh padanya dan menjawab pertanyaannya.
            “Namaku Rayhand. Emm.....” ucapku sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku yang sebenarnya tak gatal.Aku baru saja melihatnya di sini. Oh ya, ee...Kayaknya dia anak yang tertutup?. Dia pakai kain di kepalanya.Eee....dan......”, belum sempat ku lanjutkan perkataanku, Pulip terkekeh menghadapku.
Tapi, sejenak dia berhenti dan menatapku dengan raut muka penuh tanya. Tergesa-gesa dia menulis lagi di atas buku kecilnya. Disodorkannya sesobek kertas lagi padaku.
            “Apa kamu. Maaf. Non Islam?.”
            “Hem. Apa Islam itu istilah?”, jawabku, singkat.
            Pulip pun lari menjauhiku. Memang ada yang salah?. Aku hanya terpelongo melihatnya pergi.
---
Hari demi hari, aku pun mulai tahu. Kepercayaan dan agama mereka. Ya, memang siswa SMA ini mendominasi menganut agama Islam. Menurutku tak buruk. Aku banyak belajar agama mereka pula. Pernah terlintas dipikiranku untuk pindah agama. Terbayang jikalau aku satu agama dengan Fulda, aku bisa lebih dekat dengannya.Terkesan gila, aku terkekeh sendiri dengan apa yang aku bayangkan.
“Maaf, apa ada yang salah dari penampilanku?”,tanya seorang gadis. Ya, dari suaranya aku tahu dia.....(sambil ku dongakkan kepalaku), Fulda. Ha, Dugaanku benar.
“Oh....tak. Aku hanya membayangkan sesuatu.”, tekasku.
Ujung bibirnya pun tergerak ke atas, tersenyum padaku. Aku pun membalasnya ringan.
            “Em...aku Denis.”, kataku sambil berdiri dan mengulurkan tanganku.
           “Fulda.”, jawabnya dengan anggukan. Tanpa merespon tangan kananku yang sedari tadi ku ulurkan. Agak malu. Em....gak gak, aku benar-benar malu.
            “Uaa”,  teriak gadis gaguk yang pernah bertemu denganku, Pulip. Tangannya melambai, berartikan ia menginkan seseorang datang padanya. Fulda pun bergegas menghampirinya. Pulip membisikkan sesuatu pada Fulda. Entahlah apa yang dibisikkannya pada Fulda, tapi aku yakin itu tentang aku. Sebab, begitu Pulip membisikkan sesuatu pada Fulda, Fulda menoleh kepadaku.
            ---
            “Ashadualla ila haillallah. Waashaduanna muhammadar rosululloh.”, ucapku saat ku putuskan untuk menjadi muslim.
            Aku menoleh ke belakang. Senyuman dan tangis Fulda tampak di menghiasi bola mataku. Senyum bahagia dan tangis haru yang akhir-akhir ini tak ku dapati ada padanya. Sejak Pulip memberi tahunya tentang aku yang Atheis. Hingga akhirnya ku beranikan diri untuk menghampirinya satu minggu yang lalu.
            ---
            “Apa aku salah?. Apa aku yang salah terlahir tanpa mengenal agama?. Atau aku salah tak pernah mencari apa itu agama?. Apa masih pantas aku bertanya tentang agama?. Apa salah aku ingin mengenalnya?.”, tanyaku tak permisi dan berturut-turut pada Fulda. Pertanyaan yang selama ini terus menumpuk dan sekarang telah keluar menantikan jawaban.
            “Peluklah agama Islam.”, tegasnya padaku.
Tanpa memperjelas perkataannya padaku, ia pergi. Apa aku siap untuk beragama?. Apa siap bilang pada orang tuaku?. Apa mereka akan setuju?. Ayolah, aku kan belum mencoba. Islam agama yang tak buruk.
            “Aku pulang.”, ucapku sambil membuka pintu rumah yang ku tinggali sejak 16 tahun terakhir.
            “Hem. Mandi. Habis itu turun makan.”, jelas wanita yang menjadi cinta pertamaku. Ibu.
Hening. Ya, aku dan orang tuaku sedang makan.
“Gimana Den?.”, tanya ayah yang jelas mengarah padaku.
“Apanya yang gimana yah?.”, tanyaku balik, tak jelas,
“Ayah tahu. Kamu boleh berteman dengan mereka, tapi tidak dengan agamanya.”, tegas Ayah dengan nada meninggi.
“Jelas?.”, sambungnya.
Bahkan aku belum memberi tahunya, tapi Ayah sudah tahu. Padahal aku baru mau masuk Islam, tapi Ayah sudah terlihat menentangku. Bagaimana nanti kalau aku masuk Islam?, tanyaku pada diriku sendiri. Hah. Lalu....
Aku terduduk diam di bangku depan kelas. Mendengarkan suara yang setahun terakhir ini sering aku dengar. Adzan. Merasakan suasana yaang sama setahun terakhir. Entahlah, tak bisa ku jelaskan dan tak mungkin ku gambarkan.
“Masih bingung?.”, suara ringan menyadarakanku dari lamunan semuku.
“Lebih tepatnya aku linglung.”, jelasku padanya.
“Mau ikut aku?.”, tanyanya padaku.
Tanpa dia menunggu jawaban dariku, dia berjalan berlalu meninggalkanku. Menoleh padaku sejenak. Aku pun berdiri dan berlari kecil menyamakan langkah kaki dengannya. Hingga sepasang kaki itu terhenti di suatu tempat. Tangannya teracung ke depan menunjuk pada seseorang.. Ku kerutkan keningku.
            “Pulip?.”, tanyaku padanya. Ia hanya mengangguk membenarkan.
“Auhuiyahi iaa aio iyoim. Iiyya ioh aiyohim.........”
Pulip. Ya, Pulip. Beberapa sungai terbentuk dari pelupuk mataku. Sungai penyesalan, Em,sungai penyesalan. Penyesalanku yang  tertuang disetiap alirannya. Tubuhku payah. Seorang Pulip yang tak bisa bicara normal, berani membaca Al Quran. Kenapa?. Kenapa aku yang senormal ini tak berani untuk mengambil keputusan.
Ku usap air mataku. Tersenyum dan terasa bangkit. Ku tolehkan kepalaku pada seseorang yang menuntunku ke sini. Anggukan pasti ku tunjukkan padanya. Pertanda ku pastikan diriku untuk memulainya. Memulai kehidupan baru dengan Islam.
---
“Memang. Memang Islam berat. Tapi takkan berat jika kamu bersabar, Ray”, ucap Fulda meyakinkanku.
Rayhand. Miqdad Rayhand Kelana, nama yang ia berikan padaku sejak aku memeluk agama Islam.Semenjak aku beragama, aku tak dianggap orang tuaku. Mereka pergi tanpa meninggalkan seucap kata pun padaku.
“Aku yakin, orang tua kamu belum bisa mengerti. Aku harap kamu masih bisa sabar dan tak goyah.”, kata-kata meyakinkan yang dituturkan Fulda bagiku.
---
Di hari bahagiaku, aku harap mereka datang. Doaku pada Allah. Aku ingin mereka ada di sampingku. Melihatku lulus dari SMA. Menemaniku apa adanya.Doaku terhenti sejenak saat sebuah tangan lembut menepuk pindakku.
“Sang juara, dipanggil tuh.”, ucap Fulda padaku.
“Rayhand.”, panggil Bapak Kepala Sekolah berulang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencariku dalam lautan siswa SMA yang ada di acara lulusan kali ini.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Memberikan senyuman dan melangkahkan sepasang kakiku menuju panggung. Siswa berpestrasi dengan nilai terbaik di SMA. Aku bangga mendapatkan predikat itu. Alangkah lebih senang bila orang tuaku hadir di sini. Tunggu, aku. Aku melihat sosok Ayah ada di sana. Ku cari sosok itu. Ketemu. Memang itu Ayah. Ku angkat tangan kananku disertai Piala yang ku pegang. Ku tunjukkan pada Ayah.
“Ha. Aku lega Ayah di sini. Makasih yah.”, batinku dalam hati. Lama kelamaan wajah cerianya berhamburan entah kemana. Hanya senyuman pahit yang bisa ku gambarkan.
---
“Kenapa?. Kamu mau mainin aku. Aku terima Da, kalau kamu hanya permainin aku. Tapi, kamu gak sadar. Kamu permainkan Islam.”, tegasku pada Fulda.
“Maaf, aku refleks.”, jawabnya singkat.
“Apa kamu bilang?. Refleks. Kamu bilang, kamu refleks. Selama ini kamu yakinin aku. Tapi diri kamu gak pernah sadar tentang Islam. Kamu gak pernah sadar beragama Islam.”, tegasku sekali lagi padanya.
“Bukannya kamu akan selalu percaya dan ikut sama aku?.”, tanyanya padaku.
“Islam, agamaku sekarang.”, kataku singkat.
Dia pun pergi meninggalkanku tanpa seucap kata. Pandanganku mulai kabur di saat mataku sudah penuh dengan air mata. Dia yang menuntunku masuk agama Islam, tapi dia juga yang memintaku untuk mengikutinya meninggalkan Islam. Kini ku mulai hidup baruku. Hanya aku dan agamaku, Islam.


Author

Didunia ini kita akan menemukan banyak ilusi. Dan membaca akan menghilangkan ilusi tersebut dari kehidupanmu, semoga artikel yang bisa kami paparkan bisa bermanfaat bagi anda. Terima Kasih Telah Mengunjungi Web Resmi kami.Salam dari kami segenap pengurus Zona Ekspresi

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2015 zona ekspresi.Designed by SMA N 1 PADANGAN

Back To Top