REFLEKS
“Maaf aku refleks.”
Masih
tak bisa aku bayangkan perkataan sahabatku, Fulda. Tepat di hari ulang tahunnya
dia berbicara hal yang paling membuat hatiku seperti terhantam benda tumpul dan
di pipiku terbentuk sungai kecil yang mengalilr. Ya, aku menangis. Siapa orangnya
yang tidak menangis
jika sahabatnya sendiri memutuskan hal yang bodoh.
---
Rayhand. Lebih tepatnya Miqdad
Rayhand Kelana . Itu namaku. Nama pemberian sahabatku Fulda. Mungkin banyak
yang mereka-reka, lantas di mana
orang tuaku? Aku terlahir dalam keluarga dengan kepercayaan.
Tepatnya dan beragama Non Islam. Orang tuaku kini
tinggal di.....entahlah aku tak tahu. Mereka marah padaku dan
meninggalkanku, tepat aku duduk di bangku SMA.
Hari pertamaku di SMA.
Sepasang
mataku tertuju pada seorang gadis. Cantik. Tapi,....mengapa dia menutupi
keindahan mahkotanya, lekukan indah tubuhnya, kaki jenjangnya?. Penasaran,
pastinya. Tak ku sangka seorang gadis berkaca mata memperhatikanku sejak tadi.
Senyumannya terukir jelas di mataku.
“Aauawaium”,sapanya padaku diiringi
gerakan tangan memperjelas perkataannya. Nampaknya dia gaguk.
“Ya.”,sapaku balik, singkat.
Ia
mengambil buku kecil dalam sakunya. Entahlah aku tak tahu maksudnya. Tapi sepertinya ia
berniat baik padaku. Sreek.....Suara kertas disobeknya. Diberikannya sobekan
kertas itu padaku.
“Perkenalkan namaku Pulip. Yang di sana itu sahabatku, Fulda.”, Kubaca sesobek kertas darinya,
Pulip. Aku hanya mengangguk dan kedua ujung bibirku tertarik ke atas
menyunggingkan senyuman khasku. Sesekali aku pun memandang seseorang di sana yang mencuri perhatianku
tadi. Yang kini aku telah tahu
siapa namanya, Fulda. Kalau tak salah Fulda merupakan salah satu kota di
Jerman.
Renunganku terpecah di kala Pulip menyentuh pundakku dan
menyerahkan sesobek kertas lagi padaku.
“Maaf jika aku lancang. Siapa
namamu?.Lalu apa kamu mengenal Fulda?.”,aku pun menoleh padanya dan menjawab
pertanyaannya.
“Namaku Rayhand. Emm.....”
ucapku sambil menggaruk-garuk
belakang kepalaku yang sebenarnya tak gatal.Aku baru saja melihatnya di sini. Oh ya, ee...Kayaknya dia
anak yang tertutup?. Dia pakai kain di kepalanya.Eee....dan......”, belum
sempat ku lanjutkan perkataanku, Pulip terkekeh menghadapku.
Tapi,
sejenak dia berhenti dan menatapku dengan raut muka penuh tanya. Tergesa-gesa
dia menulis lagi di atas buku kecilnya. Disodorkannya sesobek kertas lagi
padaku.
“Apa kamu. Maaf. Non Islam?.”
“Hem. Apa Islam itu istilah?”,
jawabku, singkat.
Pulip pun lari menjauhiku. Memang
ada yang salah?. Aku hanya terpelongo melihatnya pergi.
---
Hari
demi hari, aku pun mulai tahu. Kepercayaan dan agama mereka. Ya, memang siswa
SMA ini mendominasi menganut agama Islam. Menurutku tak buruk. Aku banyak
belajar agama mereka pula. Pernah terlintas dipikiranku untuk pindah agama.
Terbayang jikalau aku satu agama dengan Fulda, aku bisa lebih dekat dengannya.Terkesan
gila, aku terkekeh sendiri dengan apa yang aku bayangkan.
“Maaf,
apa ada yang salah dari penampilanku?”,tanya seorang gadis. Ya, dari suaranya
aku tahu
dia.....(sambil ku dongakkan kepalaku), Fulda. Ha, Dugaanku benar.
“Oh....tak.
Aku hanya membayangkan sesuatu.”, tekasku.
Ujung
bibirnya pun tergerak ke atas, tersenyum padaku. Aku pun membalasnya ringan.
“Em...aku Denis.”, kataku sambil
berdiri dan mengulurkan tanganku.
“Fulda.”, jawabnya dengan anggukan.
Tanpa merespon tangan kananku yang sedari tadi ku ulurkan. Agak malu. Em....gak
gak, aku benar-benar malu.
“Uaa”, teriak gadis gaguk yang pernah bertemu
denganku, Pulip. Tangannya melambai, berartikan ia menginkan seseorang datang
padanya. Fulda pun bergegas menghampirinya. Pulip membisikkan sesuatu pada
Fulda. Entahlah apa yang dibisikkannya pada Fulda, tapi aku yakin itu tentang
aku. Sebab, begitu Pulip membisikkan sesuatu pada Fulda, Fulda menoleh
kepadaku.
---
“Ashadualla ila haillallah.
Waashaduanna muhammadar rosululloh.”, ucapku saat ku putuskan untuk menjadi
muslim.
Aku menoleh ke belakang. Senyuman
dan tangis Fulda tampak di menghiasi bola mataku. Senyum bahagia dan tangis
haru yang akhir-akhir ini tak ku dapati ada padanya. Sejak Pulip memberi
tahunya tentang aku yang Atheis. Hingga akhirnya ku beranikan diri untuk
menghampirinya satu minggu yang lalu.
---
“Apa aku salah?. Apa aku yang salah
terlahir tanpa mengenal agama?. Atau aku salah tak pernah mencari apa itu
agama?. Apa masih pantas aku bertanya tentang agama?. Apa salah aku ingin
mengenalnya?.”, tanyaku tak permisi dan berturut-turut pada Fulda. Pertanyaan
yang selama ini terus menumpuk dan sekarang telah keluar menantikan jawaban.
“Peluklah agama Islam.”, tegasnya
padaku.
Tanpa
memperjelas perkataannya padaku, ia pergi. Apa aku siap untuk beragama?. Apa
siap bilang pada orang tuaku?. Apa mereka akan setuju?. Ayolah, aku kan belum
mencoba. Islam agama yang tak buruk.
“Aku pulang.”, ucapku sambil membuka
pintu rumah yang ku tinggali sejak 16 tahun terakhir.
“Hem. Mandi. Habis itu turun
makan.”, jelas wanita yang menjadi cinta pertamaku. Ibu.
Hening.
Ya, aku dan orang tuaku sedang makan.
“Gimana
Den?.”, tanya ayah yang jelas mengarah padaku.
“Apanya
yang gimana yah?.”, tanyaku balik, tak jelas,
“Ayah
tahu.
Kamu boleh berteman dengan mereka, tapi tidak dengan agamanya.”, tegas Ayah
dengan nada meninggi.
“Jelas?.”,
sambungnya.
Bahkan
aku belum memberi tahunya,
tapi Ayah sudah tahu.
Padahal aku baru mau masuk Islam, tapi Ayah sudah terlihat menentangku.
Bagaimana nanti kalau aku masuk Islam?, tanyaku pada diriku sendiri. Hah.
Lalu....
Aku
terduduk diam di bangku depan kelas. Mendengarkan suara yang setahun terakhir
ini sering aku dengar. Adzan. Merasakan suasana yaang sama setahun terakhir.
Entahlah, tak bisa ku jelaskan dan tak mungkin ku gambarkan.
“Masih
bingung?.”, suara ringan menyadarakanku dari lamunan semuku.
“Lebih
tepatnya aku linglung.”, jelasku padanya.
“Mau
ikut aku?.”, tanyanya padaku.
Tanpa
dia menunggu jawaban dariku, dia berjalan berlalu meninggalkanku. Menoleh
padaku sejenak. Aku pun berdiri dan berlari kecil menyamakan langkah kaki
dengannya. Hingga sepasang kaki itu terhenti di suatu tempat. Tangannya
teracung ke depan menunjuk pada seseorang.. Ku kerutkan keningku.
“Pulip?.”, tanyaku padanya. Ia hanya
mengangguk membenarkan.
“Auhuiyahi
iaa aio iyoim. Iiyya ioh aiyohim.........”
Pulip.
Ya, Pulip. Beberapa sungai
terbentuk dari pelupuk mataku. Sungai penyesalan, Em,sungai penyesalan.
Penyesalanku yang tertuang disetiap
alirannya. Tubuhku payah. Seorang Pulip yang tak bisa bicara normal, berani
membaca Al Quran. Kenapa?. Kenapa aku yang senormal ini tak berani untuk
mengambil keputusan.
Ku
usap air mataku. Tersenyum dan terasa bangkit. Ku tolehkan kepalaku pada
seseorang yang menuntunku ke sini. Anggukan pasti ku tunjukkan padanya.
Pertanda ku pastikan diriku untuk memulainya. Memulai kehidupan baru dengan
Islam.
---
“Memang.
Memang Islam berat. Tapi takkan berat jika kamu bersabar, Ray”, ucap Fulda
meyakinkanku.
Rayhand.
Miqdad Rayhand Kelana, nama yang ia berikan padaku sejak aku memeluk agama
Islam.Semenjak aku beragama, aku tak dianggap orang tuaku. Mereka pergi tanpa
meninggalkan seucap kata pun padaku.
“Aku
yakin, orang tua kamu belum bisa mengerti. Aku harap kamu masih bisa sabar dan
tak goyah.”, kata-kata meyakinkan yang dituturkan Fulda bagiku.
---
Di
hari bahagiaku, aku harap mereka datang. Doaku pada Allah. Aku ingin mereka ada
di sampingku. Melihatku lulus dari SMA. Menemaniku apa adanya.Doaku terhenti
sejenak saat sebuah tangan lembut menepuk pindakku.
“Sang
juara, dipanggil tuh.”, ucap Fulda padaku.
“Rayhand.”,
panggil Bapak Kepala Sekolah berulang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri
mencariku dalam lautan siswa SMA yang ada di acara lulusan kali ini.
Aku
pun beranjak dari tempat dudukku. Memberikan senyuman dan melangkahkan sepasang
kakiku menuju panggung. Siswa berpestrasi dengan nilai terbaik di SMA. Aku
bangga mendapatkan predikat itu. Alangkah lebih senang bila orang tuaku hadir
di sini. Tunggu, aku. Aku melihat sosok Ayah ada di sana. Ku cari sosok itu.
Ketemu. Memang itu Ayah. Ku angkat tangan kananku disertai Piala yang ku
pegang. Ku tunjukkan pada Ayah.
“Ha.
Aku lega Ayah di sini. Makasih yah.”, batinku dalam hati. Lama kelamaan wajah
cerianya berhamburan entah kemana. Hanya senyuman pahit yang bisa ku gambarkan.
---
“Kenapa?.
Kamu mau mainin aku. Aku terima Da, kalau kamu hanya permainin aku. Tapi, kamu
gak sadar. Kamu permainkan Islam.”, tegasku pada Fulda.
“Maaf,
aku refleks.”, jawabnya singkat.
“Apa
kamu bilang?. Refleks. Kamu bilang, kamu refleks. Selama ini kamu yakinin aku.
Tapi diri kamu gak pernah sadar tentang Islam. Kamu gak pernah sadar beragama
Islam.”, tegasku sekali lagi padanya.
“Bukannya
kamu akan selalu percaya dan ikut sama aku?.”, tanyanya padaku.
“Islam,
agamaku sekarang.”, kataku singkat.
Dia
pun pergi meninggalkanku tanpa seucap kata. Pandanganku mulai kabur di saat
mataku sudah penuh dengan air mata. Dia yang menuntunku masuk agama Islam, tapi
dia juga yang memintaku untuk mengikutinya meninggalkan Islam. Kini ku mulai
hidup baruku. Hanya aku dan agamaku, Islam.
0 komentar:
Post a Comment